Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin –semoga Allah memberikan hidayah kepadaku & kepada anda utk berpegang teguh kepada Al-Qur’an & As-sunnah-, sesungguhnya Allah Ta’ala tak akan menerima suatu amalan apapun & dari siapapun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat mendasar, yaitu :
1. Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah Ta’ala, sehingga pelaku amalan tersebut sama sekali tak mengharapkan dgn amalannya tersebut kecuali balasan pahala dari Allah Ta’ala.
2. Tata cara pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dgn petunjuk Rasulullah .
Para ulama Islam menjelaskan, bahwa dalil dari kedua syarat ini disebutkan oleh Allah Ta’ala di beberapa tempat dlm Al-Qur’an, di antaranya,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Ertinya: “(Allah Ta’ala) Yang menjadikan mati & hidup utk menguji kalian, siapa dianatra kalian yang paling baik amalannya“. (QS. Al-Mulk : 2)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh -rahimahullah- berkata –sebagaimana dinukil dlm Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah -rahimahullah- (18/250) menafsirkan firman Allah Ta’ala “Siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”…“(Yaitu) Yang paling ikhlasnya & yang paling benarnya. Karena sesungguhnya amalan, jika ada keikhlasan akan tetapi belum benar maka tak akan diterima, & jika amalan itu benar akan tetapi tanpa keikhlasan maka juga tak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas & benar. Yang ikhlas adalah yang hanya utk Allah Ta’ala & yang benar adalah yang berada di atas sunnah Rasulullah ”.
Dan juga firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amalan yang shaleh & janganlah ia mempersekutukan seorangpun dlm beribadat kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi: 110)
Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Maka hendaknya ia mengerjakan amalan yang shaleh’, yaitu apa-apa yang sesuai dgn syari’at Allah Ta’ala, ‘dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dlm beribadat kepada Tuhannya’ yaitu yang hanya diinginkan dengannya wajah Allah Ta’ala tanpa ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua rukun dari amalan yang diterima, harus ikhlas hanya kepada Allah Ta’ala & benar di atas syari’at Rasulullah ”.
Penjelasan Syarat Pertama: Pemurnian Keikhlasan Hanya Kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah konsekuensi dari syahadat pertama yaitu persaksian bahwa tak ada sesembahan yang berhak utk disembah & diibadahi kecuali hanya Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala menerangkan kaidah ini dlm ayat-ayatnya, diantaranya, Firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) dgn kebenaran. Maka sembahlah Allah dgn memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)” (QS. Az-Zumar: 2-3).
Dan Allah Ta’ala berfirman, ”Katakanlah: ”Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dgn mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dlm (menjalankan) agama”. (QS. Az-Zumar : 11)
Dari Abu Hurairah , Rasulullah menegaskan dlm sabda beliau , Allah Ta’ala berfirman dlm hadits Qudsy, ”Siapa saja yang beramal dgn suatu amalan apapun yang dia memperserikatkan Aku (Allah) bersama selain Aku dlm amalan tersebut maka akan Aku tinggalkan dia & siapa yang dia perserikatkan bersama Aku”. (HR. Muslim -lihat Fathul Majid hal. 447-)
Seseorang yang beramal harus lepas dari syirik akbar/besar (yaitu menjadikan sebahagian dari, atau seluruh ibadah yang sedang dia amalkan utk selain Allah Ta’ala). Perkara kedua ini jauh lebih berbahaya, karena tak hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan sia-sia & tak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala ibadah yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali.
Allah Ta’ala berfirman mengancam Nabi Muhammad dan seluruh Nabi sebelum beliau, ”Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu & kepada (Nabi-nabi) yang sebelummu : ”Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu & tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar : 65)
Syarat Kedua : Pemurnian Ittiba’ (pengikutan) kepada Nabi Muhammad.
Ini adalah konsekuensi syahadat yang kedua yaitu persaksian bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah Ta’ala kepada para hamba agar mengajari mereka cara menyembah kepada-Nya. Dan ini juga merupakan salah satu rukun dari syahadat yang kedua ini, yaitu tak menyembah Allah Ta’ala kecuali dgn apa yang Rasulullah syari’atkan.
Maka Allah Ta’ala tidaklah boleh disembah dgn ibadah yang diada-adakan (bid’ah), tak pula dgn hawa nafsu, adat istiadat, kebiasaan, perasaan atau anggapan-anggapan yang ia pandang baik. Karena sesungguhnya asal dari ibadah itu adalah syari’at, maka akan dikatakan ibadah kalau disyari’atkan. Allah Ta’ala menegaskan, ”Katakanlah: ”Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (Nabi Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian & mengampuni dosa-dosa kalian,” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali ‘Imran:31)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dlm Tafsirnya, ”Ayat yang mulia ini adalah hakim atas semua orang yang mengaku mencintai Allah akan tetapi dia tak di atas jalan Nabi Muhammad . Karena sesungguhnya dia dusta dlm pengakuannya tersebut, sampai dia mengikuti syari’at kenabian pada seluruh ucapan & perbuatannya.”
Dan Allah Ta’ala berfirman, ”Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian & Aku cukupkan pada kalian nikmat-Ku & Aku ridha Islam sebagai agama kalian”. (QS. Al-Maidah: 3)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dlm Tafsirnya, ”Ini adalah nikmat terbesar dari seluruh nikmat Allah Ta’ala atas ummat ini yaitu Allah Ta’ala telah menyempurnakan utk mereka agama mereka, sehingga mereka tak membutuhkan nabi selain nabi mereka –shalawat & salam Allah atas beliau-. Oleh karena itulah Allah Ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi, mengutus beliau kepada seluruh manusia & jin, maka tak ada yang halal kecuali apa yang beliau halalkan, tak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan & tak ada agama kecuali apa yang beliau syari’atkan…”.
Maka siapa saja yang beramal dgn suatu ibadah yang tak sesuai dgn tuntunan Rasulullah maka amalan tersebut tertolak & sia-sia di sisi Allah Ta’ala. Allah -’Azza wa jalla- berfirman, ”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amalan itu (bagaikan) debu yang beterbangan”. (QS Al Furqan : 23)
Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah telah bersabda, ”Siapa saja yang mengadakan perkara baru dlm urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HR. Bukhari no. 2697). Dan dlm lafadz Imam Muslim, ”Siapa saja yang beramal dgn suatu amalan yang tak ada tuntunan kami padanya maka amalan itu tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Dan termasuk dalil yang menunjukkan akan syarat kedua ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari & Muslim dari sahabat Al-Barro’ bin ‘Azib , bahwa Nabi bersabda dlm khutbah ‘Iedul Adhha, ”… & barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (‘Iedul Adhha) maka tak ada sembelihan baginya (yakni tak syah). Maka Abu Burdah bin Niyar paman dari Al-Barro’ berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah menyembelih kambingku sebelum shalat karena saya mengetahui bahwa hari ini adalah hari makan & minum & saya senang kalau kambingku adalah hewan pertama yang disembelih di rumahku maka sayapun menyembelih kambingku & saya sarapan dengannya sebelum mendatangi shalat”. Maka beliau bersabda, ”Kambingmu adalah kambing daging”.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqalani, ”Berkata Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah, ”Dan di dlm hadits ini terdapat (faidah) bahwa suatu amalan, walaupun bersesuaian dgn niat yang baik, (tetap) tak diterima kecuali jika dilaksanakan sesuai dgn syari’at”. (Fathul Bary 10/17)
EMPAT GOLONGAN
Al-Imam Ibnul Qoyyim menerangkan bahwa manusia berdasarkan dua syarat ini terbagi menjadi 4 golongan, yang kesimpulannya sebagai berikut :
1. Siapa yang dlm amalannya terkumpul kedua syarat di atas. Mereka adalah orang-orang yang menyembah Allah dgn sebenar-benarnya, karena mengikhlaskan amalan mereka hanya kepada Allah dlm keadaan mencontoh Rasulullah . Mereka tak beramal utk manusia karena mereka sangat mengetahui bahwa pujian manusia sama sekali tak bisa mendatangkan manfaat, akan tetapi mereka mengikhlaskan ibadah mereka secara zhohir & batin serta mereka jujur dlm mengikuti Nabi secara zhohir & batin.
2. Orang yang kehilangan dua syarat ini dlm amalannya. Ini adalah keadaan kebanyakan orang-orang yang senang berbuat kerusakan & para zindiq (orang kafir yang pura-pura masuk Islam utk menghancurkannya dari dalam) yang mereka ini dlm beramal suatu amalan tak memperdulikan keikhlasan di dalamnya & tak peduli walaupun menyelisihi sunnah Rasulullah .
3. Orang yang beramal dgn ikhlas tapi tanpa ittiba’. Ini kebanyakannya terjadi pada orang-orang sufi & para ahli ibadah yang bodoh tentang syari’at, yang tahunya hanya beribadah & tak pernah menuntut ilmu. Mereka melakukan bid’ah dlm ucapan-ucapan & amalan-amalan mereka dgn maksud bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah akan tetapi hakikatnya perbuatan mereka tak menambah kecuali semakin jauh dari Allah Ta’ala.
4. Sebaliknya, orang yang memiliki ittiba’ dlm amalannya tapi meninggalkan keikhlasan, seperti keadaan orang-orang munafik, orang-orang yang senang riya’ (ingin dilihat orang) & sum’ah (suka berbangga diri agar amalannya di dengar & dipuji orang). Mereka ini adalah orang yang amalan mereka tak memberikan manfaat apapun kepada mereka. (Madarijus Salikin 1/95-97)
UKURAN ITTIBA’
Bila ada yang bertanya, ”Apa ukuran yang menunjukkan bahwa kita telah mewujudkan ittiba’ kepada Rasulullah ?”. Maka kita katakan bahwa tak akan terwujud ittiba’ sampai ibadah yang dilakukan sesuai dgn apa yang datang dari Rasulullah dalam 6 perkara :
1. Sebab Pelaksaannya. Maka siapa saja yang beribadah kepada Allah Ta’ala dgn suatu ibadah tapi dia melakukan ibadah tersebut dgn sebab yang Allah Ta’ala tak pernah menjadikannya sebagai sebab disyari’atkannya ibadah itu maka ibadahnya tak akan diterima Allah -’Azza wa Jalla-.
Contoh: Seseorang yang merayakan maulid Nabi dengan alasan sebagai bentuk kecintaan & mengirimkan sholawat kepada beliau. Maka kita katakan bahwa ini bukanlah ittiba’ karena walaupun mencintai Nabi dan mengirimkan sholawat kepada beliau adalah ibadah, akan tetapi orang ini menjadikan perayaan maulid sebagai sebab dia melaksanakan ibadah-ibadah di atas, padahal Allah Ta’ala & RasulNya tak pernah menjadikan maulid ini sebagai sebab/wasilah utk mencintai & bersholawat kepada beliau.
2. Jenisnya. Misalnya dlm udhhiyah (hewan kurban), syari’at telah menentukan jenisnya yaitu harus dari jenis bahimatul an’am (onta, sapi, domba & kambing). Bila ada seseorang yang berkata bahwa kambing harganya hanya sekitar Rp. 400.000,- maka saya akan menyembelih kuda yang harganya jelah lebih mahal dari kambing. Maka kita katakan bahwa ini tidaklah benar karena kuda bukan termasuk jenis yang ditentukan oleh syari’at sehingga sembelihannya tak dianngap sebagai udhhiyah.
3. Ukurannya. Contohnya jelas, misalnya ada seseorang yang shalat zhuhur 6 raka’at; atau berwudhu dgn 4 kali cucian dgn sengaja & tanpa udzur yang membolehkan, maka sholat zhuhurnya serta cucian keempatnya tak diterima karena menyelisihi tata caranya syari’at.
4. Sifat (Tata caranya). Misalnya ada orang yang wudhu lalu mendahulukan mencuci kaki sebelum mencuci wajah atau seseorang yang shalat & memulainya dgn sujud, maka kedua ibadah seperti ini tak akan diterima.
5. Waktu Pelaksanaannya. Bila ada orang yang menyembelih udhhiyahnya sebelum shalat ‘Iedul Adha maka tak teranggap udhhiyah karena pensyari’atan sebenarnya adalah setelah shalat & bukan sebelumnya.
6. Tempat Pelaksanaannya. Misalnya ada orang yang beri’tikaf di kamar rumahnya; atau pergi melakukan thawaf kepada Allah Ta’ala di kuburan. Kedua ibadah ini tak akan diterima karena i’tikaf, tempat disyari’atkannya adalah di masjid; sedangkan thawaf hanya diperbolehkan di Ka’bah bahkan perbuatan yang kedua ini bisa masuk ke dlm kategori syirik kecil karena merupakan wasilah/pengantar kepada syirik besar.
0 comments:
Post a Comment